Bercak
Darah Di Kaki Soekarno
Yang tidak banyak diketahui orang”, ungkap Soebandrio, “dari sekian perwira
senior yang paling ditakuti Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution”. “29
September 1965: Aidit yang berbicara kemudian, seakan mengolok-olok Leimena dan
sekaligus dianggap ‘menantang’ Soekarno, mengatakan bahwa kalau CGMI tidak bisa
melenyapkan HMI, sebaiknya mereka memakai sarung saja”.
BEBERAPA
waktu sebelum tanggal 30 September 1965, Panglima Angkatan Udara Laksamana
Madya (U) Omar Dhani bertemu bertiga dengan Panglima Angkatan Darat Letnan
Jenderal Ahmad Yani dan Panglima Kepolisian Jenderal Soetjipto Danoekoesoemo.
“Saya sudah ngomong, ada sesuatu yang akan terjadi”, khususnya dalam kaitan
dengan Angkatan Darat, jadi hendaknya berhati-hati. Yani tampaknya tetap tenang
saja. Omar Dhani menggambarkan bahwa hubungannya dengan Yani baik sekali hingga
saat itu. Suatu ketika, sewaktu berbincang-bincang dengan Panglima Angkatan
Laut Laksamana (L) Martadinata dan Panglima Angkatan Kepolisian Jenderal
Soetjipto, pada suatu kesempatan lain, tanpa kehadiran Yani, mengenai the
incoming leader after Soekarno, dengan serta merta
Omar Dhani menyebutkan nama Ahmad Yani. “Kami semua sepakat, dialah yang paling
pantas”. Tapi, sekitar waktu itu Omar Dhani sendiri pernah juga disebut-sebut
namanya untuk posisi Presiden, antara lain oleh pimpinan PKI. “Saya tidak
pernah memikirkan. Tidak pernah mencalonkan diri”. Meskipun sempat membicarakan
the next, secara umum para Panglima tersebut sampai saat itu
menurut Omar Dhani, tidaklah pernah memikirkan penggantian Presiden.
Soal
siapa yang bisa dan pantas menggantikan Soekarno kelak, sebenarnya tak
hanya nama Yani –atau Omar Dhani– yang muncul kala itu. Soebandrio yang secara
formal adalah orang kedua setelah Soekarno dalam kekuasaan hingga tahun 1965,
justru menggambarkan adanya dua tokoh yang memiliki peluang seimbang, yakni
Jenderal Abdul Harris Nasution dan Letnan Jenderal Ahmad Yani. Spekulasi yang
berkembang, “jika Bung Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu memimpin
Indonesia, maka pengganti yang paling cocok adalah antara Yani dan Nasution”.
Sebenarnya, pada sisi lain Soebandrio sendiri pun kerap disebutkan termasuk
yang memiliki peluang untuk itu. “Yang tidak banyak diketahui orang”, ungkap Soebandrio,
“dari sekian perwira senior yang paling ditakuti Presiden Soekarno saat itu
adalah Nasution”. Sampai-sampai Presiden Soekarno menjuluki Nasution sebagai
pencetus gagasan ‘Negara dalam Negara’. Selain sangat berpengalaman di bidang
militer, Nasution juga matang berpolitik. “Dia pencetus ide Dwi Fungsi ABRI
melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman melakukan manuver-manuver
politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan militer, agar tentara
bisa masuk ke lembaga-lembaga negara secara efektif di pusat dan daerah”.
Pertemuan
langsung antara Soekarno dengan Nasution yang terakhir adalah pertengahan
September 1965, tatkala Presiden menganugerahkan Bintang Mahaputera kepada Dipa
Nusantara Aidit di Istana Negara. Tak ada hal yang istimewa dalam pertemuan
sepintas dalam keramaian suasana upacara kala itu, di antara keduanya, kendati
saat itu dalam benak Soekarno nama Nasution pasti terekam dengan konotasi
tertentu, karena nama Nasution tercatat dalam laporan sebagai salah satu
anggota Dewan Jenderal. Soekarno bahkan meletakkan Nasution sebagai otak di
belakang segala sesuatu yang terkait dengan Dewan Jenderal, meskipun setiap
kali memerlukan penjelasan, Soekarno selalu memintanya kepada Yani. Peristiwa
agak istimewa, justru terjadi antara Aidit dengan Nasution. Setelah selesai
upacara, menurut memori Nasution, Aidit datang kepadanya dan menanyakan
“Manakah dari pita-pita di dada Jenderal Nasution yang mengenai operasi
Peristiwa Madiun 1948?”. Nasution menunjukkan pita itu dan Aidit segera menggandeng
tangan Jenderal Nasution seraya meminta para wartawan mengambil gambar mereka
berdua.
Soekarno, Aidit dan Jenderal Nasution.
Hanya
beberapa hari sebelumnya, 13 September 1965, juga di istana, Presiden Soekarno
menyerang Jenderal Nasution –meskipun tanpa menyebut nama. Dalam pembukaan
pertemuan Gubernur se-Indonesia, Soekarno kembali mengulangi tentang adanya
anak-anak revolusi yang tidak setia pada induknya, yakni sebarisan ‘jenderal
brengsek’, yang semua orang tahu terutama ditujukan kepada Nasution. Ini bukan
pertama kali dilontarkan Soekarno, terutama sejak ia menerima
informasi-informasi tentang adanya Dewan Jenderal yang bermaksud menggulingkan
dirinya. Pada waktu yang bersamaan para pemimpin PKI melontarkan
pernyataan-pernyataan senada, sehingga tercipta opini bahwa Soekarno memang
betul-betul telah seiring sejalan dengan PKI, sesuatu yang kelak harus ditebus
Soekarno dengan mahal.
Praktis
sepanjang September 1965, PKI menyerang secara agresif, lawan-lawan politiknya,
terutama kelompok-kelompok tentara yang dikaitkan dengan Nasution. Seraya
menggambarkan adanya kelompok jenderal yang tidak loyal kepada Soekarno, Harian
Rakyat 4 September menulis bahwa para perwira tentara itu dalam pola maling
teriak maling menuduh seakan-akan PKI mau melakukan kup. Tetapi sementara itu,
pada tanggal 9 September adalah Aidit sendiri yang menggambarkan akan
terjadinya sesuatu dengan mengatakan “Kita berjuang untuk sesuatu yang pasti
akan lahir. Kita kaum revolusioner adalah bagaikan bidan daripada bayi
masyarakat baru itu. Sang bayi pasti lahir dan kita kaum revolusioner menjaga
supaya lahirnya baik dan sang bayi cepat jadi besar”. Ucapan ini diperkuat
Anwar Sanusi. Lima hari kemudian, 14 September, Aidit di depan sidang nasional
Sobsi mengatakan bahwa “yang paling penting sekarang ini, bagaimana kita
memotong penyakit kanker dalam masyarakat kita, yaitu setan kota. Kalau
revolusi mau tumbuh dengan subur, kita harus menyingkirkan kaum dinasti
ekonomi, kapbir dan setan kota dari segenap aparatur politik dan ekonomi negara”.
Di depan karyawan BNI, 17 September, Aidit mengatakan “Kabinet sekarang belum
Nasakom, hanya mambu Nasakom”. Lalu 21 September di depan Sarbupri,
Aidit menyatakan “Jangan berjuang untuk satu ikan asin…. Jangan mau jadi
landasan, jadilah palu godam”. Seraya menggambarkan bahwa para menteri hidup
dari distribusi kewibawaan dari Bung Karno, ia sebaliknya melukiskan “kaum
proletar tidak akan kehilangan sesuatu apa pun kecuali belenggu mereka”.
Paling
agresif adalah ucapan-ucapan Aidit di depan Kongres III CGMI 29 September 1965,
“Mahasiswa komunis harus berani berpikir dan berani berbuat. Berbuat, berbuat,
berbuat. Bertindak dan berbuat dengan berani, berani. Sekali lagi berani”. Pada
acara itu Aidit melancarkan serangan khusus kepada HMI yang beberapa waktu
sebelumnya sempat dibela oleh Ahmad Yani. Bahkan sebenarnya Aidit malam itu
seakan ‘melawan’ Soekarno ketika ia menanggapi pidato Waperdam II Leimena. Sang
Waperdam yang berbicara sebelum Aidit, malam itu mengatakan bahwa sesuai sikap
Presiden Soekarno, hendaknya HMI tak perlu lagi dipersoalkan lebih lanjut.
Menurut Leimena, bukankah beberapa hari sebelumnya, 22 September, Presiden
telah menyatakan penolakannya terhadap tuntutan pembubaran HMI yang disampaikan
kepadanya ? Namun Aidit yang berbicara kemudian, seakan mengolok-olok Leimena
dan sekaligus dianggap ‘menantang’ Soekarno, mengatakan bahwa kalau CGMI tidak
bisa melenyapkan HMI, sebaiknya mereka memakai sarung saja. Soekarno yang
sebenarnya merasa tersinggung, tetap mengendalikan diri dengan baik. Ia
mengatakan HMI tak perlu dibubarkan. Namun, bilamana HMI “ternyata menyeleweng”
dari garis revolusi, ia sendiri akan melarang dan membubarkan HMI.
Yang
kemudian ikut memberatkan PKI di belakang hari adalah editorial Harian
Rakyat pada tanggal 30 September, yang berbunyi, “Dengan menggaruk
kekayaan negara, setan-setan kota ini mempunyai maksud-maksud politik yang
jahat terhadap pemerintah dan revolusi. Mereka harus dijatuhi hukuman mati di
muka umum. Soalnya tinggal pelaksanaan. Tuntutan adil rakyat pasti berhasil”.
Editorial ini seakan membayangkan suatu pengetahuan tentang rencana PKI
berkaitan dengan kematian para jenderal melalui suatu hukuman mati oleh rakyat
atau kekuatan revolusioner. Akumulasi pernyataan-pernyataan keras tokoh-tokoh
PKI, terutama Aidit, serta apa yang hitam putih termuat dalam Harian Rakyat,
di belakang hari ibarat mozaik yang setelah disusun menjadi sebuah gambar,
telah mendorong munculnya opini kuat tentang keterlibatan dan peran PKI sebagai
otak gerakan makar tanggal 30 September 1965.
Jenderal
Nasution yang pada bulan September itu banyak menjadi bulan-bulanan serangan
kelompok politik kiri maupun Soekarno, lebih banyak berdiam diri, dalam arti
tak banyak mengeluarkan pernyataan-pernyataan menanggapi serangan-serangan yang
ditujukan pada dirinya. Bahkan serangan tentang keterlibatan isterinya dalam
suatu kolusi bisnis yang memanfaatkan kekuasaan suami, juga didiamkan Nasution.
Dalam
suatu rapat raksasa 29 September –suatu model pengerahan massa pada masa itu–
di lapangan Banteng yang dihadiri lebih dari seratus ribu orang, sebagian besar
terdiri dari pelajar yang dikerahkan IPPI pimpinan Robby Sumolang, ada aksi
tunjuk hidung terhadap kapbir, setan-setan kota dan kaum koruptor. Empat nama
setan kota yang ditunjuk hidungnya adalah Hein Siwu, Pontoan, Kapten Iskandar
dan seorang insinyur pemilik pabrik tekstil bernama Aminuddin, yang
nama-namanya sudah dilaporkan kepada Jaksa Agung Brigjen Sutardhio. Menurut
Nasution, nama yang disebut terakhir, Ir Aminudin, bersama Hein Siwu, dikait-kaitkan
dengan isterinya dalam urusan bisnis. Nasution memang pernah memenuhi undangan
Aminuddin untuk meninjau pabrik tekstil milik Aminuddin yang terletak di daerah
Cawang. Pabrik itu, “didesas-desuskan sebagai milik saya, yang diurus oleh Ir
Aminuddin”. Kejadian sebenarnya dari hubungan itu, menurut Nasution adalah
bahwa Hein Siwu dengan diantar oleh Kolonel Hein Victor Worang pernah datang
untuk menyumbang kegiatan sosial Nyonya Sunarti Nasution.
Setelah
membentangkan laporan-laporan yang telah diterimanya sejauh itu, tentang adanya
kelompok jenderal tidak loyal pada dirinya, yang dikelompokkan sebagai Dewan
Jenderal, Soekarno lalu menugaskan kepada Brigjen Sjafiuddin untuk menyelidiki
lebih lanjut siapa-siapa saja jenderal tidak loyal itu serta jaringan
kerjanya”.
SEPANJANG
September Jenderal Nasution banyak bepergian ke daerah-daerah. Diantaranya, ke
Jawa Timur, bersama Panglima Kodam Brawijaya Basuki Rachmat meninjau
daerah-daerah pertanian yang dikelola prajurit-prajurit Brawijaya. Nasution
berkunjung pula ke sejumlah pesantren, termasuk Pesantren Tebu Ireng di
Jombang. Kemudian, seminggu sebelum akhir September ke kampus Universitas
Padjadjaran di Bandung untuk acara pemberian tunggul-tunggul batalion-batalion
Resimen Mahasiswa Mahawarman. Lalu ke Yogyakarta keesokan harinya, mengunjungi
Akademi Angkatan Udara, didampingi Panglima Kodam Diponegoro Brigjen Surjo
Sumpeno.
Malam
hari tanggal 30 September 1965, Nasution memberi ceramah mengenai Hankamrata
(Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta), tanpa point-point yang eksplosif
secara politis. “Saya diantarkan oleh Kolonel M. Amin dan Kolonel Isa Edris.
Rupanya selama saya berceramah ada kelompok pemuda yang tidak dikenal yang
terus mengawasi, sehingga terjadi bentrokan dengan para mahasiswa yang bertugas
sebagai penjaga keamanan”. Pada malam yang sama, menurut Nasution, iparnya yang
bernama Sunario Gondokusumo, melihat Kolonel Latief, Komandan Brigif I Kodam
Jaya, memeriksa penjagaan di rumah Jenderal Nasution. Tetapi secara umum,
menurut kesan Nasution sendiri tentang keadaan sekitar kediamannya pada 30
September malam itu, tidak ada hal-hal yang aneh. Dan, “regu pengawal dari
Brigif I pun tidak melaporkan apa-apa. Sebagaimana biasa mereka bergiliran
tidur”. Waktu Nasution tiba di rumah dekat tengah malam, isterinya telah tidur
bersama puterinya yang bungsu, Ade Irma. Sebagaimana biasanya pula, mereka
tidur dengan jendela terbuka untuk mendapat hawa dingin dari luar. “Kelak saya
mendapat kabar bahwa pada malam itu pemuda-pemuda agak ramai di suatu rumah di
Jalan Waringin, tidak jauh dari rumah saya. Di sini kelihatan anak-anak Bea
Cukai, Junta Suardi dan kawan-kawan, juga Kepala Intel Tjakrabirawa, Letnan
Kolonel Ali Ebram”.
Pada
pekan terakhir September Nasution banyak berlatih golf karena akan mengikuti
pertandingan golf dalam rangka Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata 5 Oktober.
Nasution sendiri menghendaki agar hari ulang tahun ABRI kali itu dirayakan
secara sederhana saja, mengingat keadaan ekonomi negara, tetapi Soekarno ingin
dirayakan besar-besaran. Soekarno ingin melakukan show of force,
dan bahkan ingin menyelenggarakan suatu pekan olahraga, Ganefo –Games
of the New Emerging Forces–
militer, dengan mengundang tim-tim olahraga angkatan bersenjata negara-negara
sahabat yang tergolong sebagai Nefos. Tetapi ini tidak sempat lagi
dilaksanakan karena alasan teknis dan keterbatasan waktu, meskipun sempat
dilakukan sejumlah persiapan awal dan kepanitiaan pun sudah dibentuk. Dalam
kepanitiaan duduk antara lain Brigjen Supardi sebagai ketua dan Brigjen Andi Mattalatta.
Terlihat
bahwa sepanjang September Jenderal Nasution banyak berkeliling ke berbagai
daerah, namun tanpa mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras yang mengundang
tanggapan. Sebaliknya, berbeda dengan Nasution, justru Dipa Nusantara Aidit
banyak melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi, nyaris sepanjang
bulan September. Sehingga, kala itu dalam persepsi banyak orang, PKI sedang
berada di atas angin, sangat revolusioner, sangat agresif dan terkesan ingin
menerkam habis lawan-lawan politiknya. Kesan ini besar pengaruhnya kelak dalam
rangkaian peristiwa yang terjadi sejak 30 September 1965 malam dan pada
masa-masa berikutnya segera setelah itu.
Laporan-laporan tentang kelompok jenderal yang tidak loyal. Seperti digambarkan Soebandrio, memang
Soekarno menerima begitu banyak laporan tentang perkembangan terakhir. Ini
terjadi boleh dikatakan hampir sepanjang tahun 1965 –sejak munculnya isu Dewan
Jenderal– dan meningkat tajam pada bulan September 1965. Dan adalah karena
laporan-laporan itu, Soekarno mempunyai persepsi dan prasangka tertentu kepada
sejumlah jenderal, yang lalu membawanya kepada suatu rencana ‘pembenahan’ yang
untuk sebagian besar, beberapa waktu kemudian ternyata berkembang di luar
kendalinya sendiri.
Ketika
merayakan ulang tahunnya, 6 Juni 1965, di Istana Tampak Siring, Bali, isu
mengenai adanya kelompok jenderal yang tidak loyal menjadi bahan pembicaraan.
Bagaimana menghadapi kemungkinan makar dari para jenderal itu, Soekarno secara
langsung memberikan petunjuk kepada beberapa orang diantara yang hadir. Waktu
itu, hadir antara lain tiga Waperdam, yakni Dr Subandrio, Chairul Saleh dan Dr
Johannes Leimena serta Menteri Gubernur Bank Sentral, Jusuf Muda Dalam. Selain
mereka, hadir tiga pejabat teras yang berkedudukan di Denpasar, yakni Pangdam
Udayana Brigjen Sjafiuddin, Gubernur Bali Sutedja dan Panglima Daerah
Kepolisian. Beberapa perwira keamanan dan ajudan juga hadir, yakni Komandan
Tjakrabirawa Brigjen Sabur, Komisaris Besar Polisi Sumirat, Ajun Komisaris
Besar Polisi Mangil dan ajudan Kolonel Bambang Widjanarko yang adalah perwira
korps komando. Setelah membentangkan laporan-laporan yang telah diterimanya
sejauh itu, tentang adanya kelompok jenderal tidak loyal pada dirinya, yang
dikelompokkan sebagai Dewan Jenderal, Soekarno lalu menugaskan kepada Brigjen
Sjafiuddin untuk menyelidiki lebih lanjut siapa-siapa saja jenderal tidak loyal
itu serta jaringan kerjanya.
Pada
waktu itu juga Presiden Soekarno sudah mencetuskan keinginannya untuk melakukan
perubahan di lapisan pimpinan Angkatan Darat. Dengan gusar Soekarno
mempertanyakan apa maksud para jenderal Angkatan Darat yang sekitar sebulan
sebelumnya menyelenggarakan Seminar Angkatan Darat di Bandung yang menyimpulkan
adanya “bahaya dari utara” dan menetapkan sejumlah doktrin menghadapi bahaya
tersebut. Soekarno menafsirkan bahwa kesimpulan dan doktrin para jenderal itu
tak lain bertujuan mematahkan poros Jakarta-Peking yang telah dilontarkannya.
Menurut Nasution, Presiden Soekarno sering marah-marah bila menyebut nama
jenderal-jenderal yang terkait dengan isu Dewan Jenderal atau jenderal-jenderal
yang tidak loyal. Kerap terlontar istilah ‘jenderal brengsek’ dari Soekarno.
Dan Soekarno lalu kerap kali memanggil dan menerima sejumlah jenderal lain yang
dianggapnya loyal sebagai imbangan terhadap para jenderal yang dianggapnya
tidak loyal itu. Suatu ketika Letnan Jenderal Ahmad Yani mengantarkan Soewondo
Parman dan Soetojo Siswomihardjo menghadap Presiden Soekarno, dan keduanya
dimarahi habis-habisan oleh Soekarno. Soekarno mengatakan para jenderal perlu
memahami bukan hanya taktik-taktik perang saja, tapi juga harus memahami
strategi, termasuk strategi dunia. Soekarno mengecam pikiran adanya ‘musuh dari
utara’ bagi Asia Tenggara. Itu strategi Nekolim, ujarnya. Jangan
terperangkap. Para jenderal harus mendukung strategi Soekarno, poros
Jakarta-Peking.
Brigjen
Sjafiuddin tidak memerlukan waktu yang lama untuk melapor kembali. Ia terlihat
beberapa kali datang menghadap Soekarno di Istana Merdeka dan memastikan kepada
Soekarno kebenaran adanya jenderal yang tidak loyal. Sjaifuddin menggambarkan
adanya dualisme di Angkatan Darat sehingga membingungkan pelaksana di tingkat
bawah dan ada yang lalu ikut-ikutan tidak loyal kepada Panglima
Tertinggi. Ia mengkonfirmasikan beberapa nama yang dulu sudah disinggung
Soekarno di Tampak Siring, yaitu Soewondo Parman, R. Soeprapto, Mas Tirtodarmo
Harjono dan Soetojo Siswomihardjo, sebagai positif tidak loyal kepada Presiden
Soekarno. Soekarno sekali lagi menyatakan akan mengadakan perubahan di lapisan
pimpinan Angkatan Darat, bahkan kali ini menyebutkan nama calon Menteri
Panglima Angkatan Darat yang akan menggantikan Ahmad Yani, yakni Mayjen
Mursjid. Pada kesempatan lain, 29 September 1965, Soekarno bahkan sudah
mengatakan langsung kepada Mursjid rencana pengangkatannya sebagai pengganti
Yani dan menanyakan apakah Mursjid bersedia menjalankan tugas tersebut. Mursjid
tanpa pikir panjang langsung menyatakan kesediaannya.
Selain
Sjaifuddin, Presiden Soekarno juga memerintahkan beberapa perwira lain untuk
menyelidiki dan mengusut mengenai kelompok perwira yang tidak loyal itu. Dua
diantara yang ditugasi adalah Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur dan
Komandan Corps Polisi Militer Brigjen Soedirgo. Keduanya juga
membenarkan adanya kelompok jenderal yang tidak loyal itu. Keduanya selalu
kembali dengan laporan yang memperkuat tentang adanya Dewan Jenderal,
jenderal-jenderal yang tidak loyal, dan bahwa sewaktu-waktu mereka itu akan
melakukan makar merongrong Pemimpin Besar Revolusi.
Di
bulan Agustus, tanggal 4, Soekarno memanggil Letnan Kolonel Untung salah satu
komandan batalion Tjakrabirawa. Kepada Untung ia bertanya, apakah siap
dan berani bila ditugaskan untuk menghadapi para jenderal yang tidak loyal, dan
apabila terjadi sesuatu apakah Untung akan bersedia bertindak. Untung
menyatakan sanggup. Ia kemudian malah bertindak cukup jauh. Ia menghubungi
Walujo dari Biro Khusus PKI, yang kemudian melanjutkannya kepada Sjam. Bahkan
Sjam mengembangkan informasi ini menjadi suatu perencanaan menindaki para
jenderal tidak loyal itu, melalui suatu gerakan internal Angkatan Darat.
Perintah Soekarno kepada Letnan Kolonel Untung ini telah menggelinding begitu
jauh, sehingga akhirnya justru terlepas dari kendali Soekarno sendiri pada
akhirnya.
Setelah
itu, tercatat bahwa dalam bulan September, seakan melakukan satu rangkaian
konsolidasi dukungan, Soekarno berkali-kali meminta kesediaan beberapa perwira
untuk bersiap-siap menindaki para jenderal yang tidak loyal. Pada 15 September,
Soekarno memerintahkan hal tersebut kepada Brigjen Sabur dan Jaksa Agung Muda
Brigjen Sunarjo. Perintah ini disaksikan oleh Soebandrio, Jaksa Agung Brigjen
Sutardhio dan Kepala BPI Brigjen Polisi Soetarto, Kombes Sumirat serta dua
orang lain yakni Muallif Nasution dan Hardjo Wardojo. Lalu pada tanggal 23 September
pagi, di serambi belakang Istana Merdeka, terhadap laporan Mayjen Mursjid bahwa
“ternyata memang benar, jenderal-jenderal yang bapak sebutkan itu tidak
menyetujui politik bapak dan tidak setia pada bapak”, Soekarno berkata harus
dilakukan suatu tindakan yang cepat. Ia lalu bertanya kepada Sabur bagaimana
mengenai perintahnya beberapa hari yang lalu untuk mengambil tindakan terhadap
jenderal-jenderal tersebut. Komandan Resimen Tjakrabirawa itu lalu melaporkan
bahwa rencana penindakan itu telah dibicarakannya dengan Brigjen Sunarjo dan
Brigjen Soedirgo. “Tapi untuk pelaksanaannya masih memerlukan persiapan yang
lebih teliti lagi”. Soekarno lalu mengulangi lagi perintahnya kepada Brigjen
Sabur, Brigjen Soenarjo dan Brigjen Soedirgo –yang tidak hadir pagi itu, karena
ke Kalimantan– untuk segera mempersiapkan penindakan. Hadir saat itu
adalah Dr Soebandrio, Chairul Saleh, Dr Leimena, Brigjen Sunarjo, Djamin
dan Laksamana Madya Udara Omar Dhani.
Ada
kesan, perintah menindak yang berulang-ulang disampaikan Soekarno di tahun 1965
itu memang tidak ditindaklanjuti, atau bahkan mungkin memang tidak untuk
betul-betul dilaksanakan. Jadinya, perintah untuk bertindak kepada tiga
Brigadir Jenderal itu berfungsi seakan-akan sekedar bluffing, yang
diharapkan sampai ke telinga para jenderal lain”. “Namun sementara itu,
perintah serupa yang disampaikan Soekarno kepada Letnan Kolonel Untung
Sjamsuri, 4 Agustus 1965, yang diketahui oleh sedikit orang saja, justru
menggelinding”.
KETIKA
Brigjen Soedirgo menghadap lagi 26 September 1965, kembali Soekarno mengatakan
telah memerintahkan Brigjen Sabur dan Brigjen Sunarjo untuk mengambil tindakan
dan memerintahkan Soedirgo membantu. ”Saya percaya kepada Corps Polisi
Militer”, ujar Soekarno. Terlihat betapa selama berminggu-minggu, persoalan
berputar-putar pada lapor melapor tentang adanya jenderal-jenderal yang tidak
loyal dan setiap kali Presiden Soekarno pun mengeluarkan perintah penindakan.
Namun,
rencana penindakan itu seakan jalan di tempat. Barulah pada tanggal 29
September, tampaknya ada sesuatu yang dapat dianggap lebih konkret, dengan
munculnya Brigjen Mustafa Sjarif Soepardjo melaporkan kepada Soekarno kesiapan
‘pasukan’ yang dikoordinasi Pangkopur II dari Kalimantan ini untuk segera
bertindak terhadap para jenderal yang tidak loyal tersebut.
Menurut
kesaksian Kolonel KKO Bambang Setijono Widjanarko, dalam pertemuan pukul 11
pagi itu, selain Brigjen Soepardjo hadir pula Panglima Angkatan Udara Laksamana
Madya Omar Dhani, yang menyatakan kesediaannya membantu. Akan tetapi, kesaksian
ini dibantah Omar Dhani, karena sewaktu ia menghadap Soekarno, ia tidak melihat
kehadiran Soepardjo di istana. Artinya, mereka menghadap pada jam yang berbeda.
Omar Dhani sepanjang yang diakuinya, datang melaporkan kepada Presiden Soekarno
tentang kedatangan sejumlah besar pasukan dari daerah –Jawa Timur, Jawa Tengah
dan Jawa Barat– ke Jakarta dengan alasan untuk kepentingan Hari Ulang Tahun
Angkatan Bersenjata 5 Oktober, yang dianggapnya aneh karena diperlengkapi
peralatan tempur garis pertama. Selain itu, ia justru telah menugaskan Letnan
Kolonel Heru Atmodjo yang menghadap di kediamannya pada pukul 16.00 Kamis 30
September 1965 untuk menemui Brigjen Soepardjo dan meminta keterangan rencana
dan tujuan sebenarnya dari gerakan yang akan dilakukan Soepardjo di ibukota
negara seperti yang dilaporkan oleh Asisten Direktur Intelijen AU itu.
Akhirnya, darah mengalir. Perintah-perintah penyelidikan dan penindakan yang diberikan Presiden
Soekarno kepada beberapa jenderal yang dianggapnya setia kepadanya, seperti
yang terlihat dari rangkaian fakta, pada mulanya memang seperti berputar-putar
saja tanpa hasil konkrit. Pulang-pergi, jenderal-jenderal seperti Brigjen
Sjafiuddin, Mayjen Mursjid, lalu Brigjen Sabur, Brigjen Soenarjo hingga Brigjen
Soedirgo, hanyalah melakukan serangkaian panjang ‘akrobat’ lapor melapor yang
intinya hanyalah konfirmasi bahwa memang benar ada sejumlah jenderal yang tidak
loyal yang merencanakan semacam tindakan makar terhadap Soekarno. Ketika
Soekarno menanyakan kesediaan mereka untuk menghadapi para jenderal tidak loyal
itu, mereka selalu menyatakan kesediaannya. Begitu pula sewaktu Soekarno
memberikan penugasan, mereka selalu menyatakan kesiapan, namun persiapannya
sendiri tampaknya jalan di tempat. Brigjen Sabur misalnya menyatakan,
persiapannya perlu waktu dan harus dilakukan dengan teliti.
Brigjen
Soedirgo yang dalam kedudukannya selaku Komandan Corps Polisi Militer
kelihatannya diharapkan menjadi ujung tombak pelaksanaan –yang juga belum jelas
bagaimana cara dan bentuknya– sama sekali belum menunjukkan kesiapan. Apakah
penindakan itu nantinya berupa penangkapan oleh Polisi Militer, lalu
diperhadapkan kepada Soekarno? Semuanya belum jelas. Akan tetapi dalam pada
itu, melalui Brigjen Sabur, dana dan fasilitas berupa kendaraan baru dan
sebagainya, telah mengalir kepada Brigjen Soedirgo. Hanya urusan uang dan
fasilitas itu yang merupakan kegiatan yang jelas saat itu.
Karir
Brigjen Soedirgo selanjutnya cukup menarik. Oktober 1966, setelah Soeharto
mulai memegang ‘sebagian’ kekuasaan negara selaku pemegang Surat Perintah 11
Maret 1966, adalah Soeharto sendiri yang menarik Soedirgo menjadi Deputi KIN
(Komando Intelijen Negara). Mei 1967 KIN ini dilebur menjadi Bakin (Badan
Koordinasi Intelijen Negara), dan cukup menakjubkan bahwa Soeharto yang telah
memegang kekuasaan negara sepenuhnya menggantikan Soekarno, malah mengangkat
Soedirgo yang sudah berpangkat Mayor Jenderal menjadi Kepala Bakin yang
bermarkas di Jalan Senopati di Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Agaknya Soeharto
memiliki kebutuhan khusus dari Soedirgo yang di tahun 1965 mendapat perintah
menindaki para jenderal yang tidak loyal. Akan tetapi, 21 Nopember 1968,
Soeharto memerintahkan pencopotan Soedirgo dari jabatannya di badan intelijen
dan setelah itu Soedirgo dimasukkan tahanan. Bersama Soedirgo, beberapa
jenderal lain yang di tahun 1965 menjadi lingkaran dalam Soekarno,juga
dikenakan penahanan. “Gajah tidak pernah lupa”, kata pepatah. Sebagai pengganti
Soedirgo, Soeharto mengangkat lingkaran dalamnya sejak periode Divisi Diponegoro
di Jawa Tengah, Yoga Soegama yang kala itu sudah berpangkat Letnan Jenderal.
Ada
kesan, perintah menindak yang berulang-ulang disampaikan Soekarno di tahun 1965
itu memang tidak ditindaklanjuti, atau bahkan mungkin memang tidak untuk
betul-betul dilaksanakan. Jadinya, perintah untuk bertindak kepada tiga
Brigadir Jenderal itu berfungsi seakan-akan sekedar bluffing, yang
diharapkan sampai ke telinga para jenderal lain. Kalau suatu tindakan, melalui
trio Sabur-Sunarjo-Soedirgo memang betul dimaksudkan untuk dilaksanakan,
perintah untuk itu semestinya disampaikan tidak di hadapan khalayak yang cukup
banyak untuk ukuran keamanan suatu perintah rahasia. Soekarno pasti tahu itu.
Namun
sementara itu, perintah serupa yang disampaikan Soekarno kepada Letnan Kolonel
Untung Sjamsuri, 4 Agustus 1965, yang diketahui oleh sedikit orang saja, justru
menggelinding. Penyampaian Soekarno kepada Untung ini sedikit tenggelam oleh
‘insiden’ pingsannya Soekarno pagi itu, tak begitu lama setelah pertemuan.
Bahkan, fakta pingsannya Soekarno ini, di kemudian hari menimbulkan keraguan
apakah betul Untung hari itu memang bertemu dan mendapat perintah dari
Soekarno. Tetapi faktanya, segera setelah kepada Untung oleh Soekarno
ditanyakan kesediaan dan kesiapannya untuk bertindak menghadapi para jenderal
yang tidak loyal yang tergabung dalam apa yang dinamakan Dewan Jenderal, ia ini
segera menghubungi Walujo dan menceritakan permintaan Soekarno kepadanya.
Walujo, orang ketiga dalam Biro Khusus –Biro Chusus– PKI,
lalu meneruskan perkembangan ini kepada Sjam orang pertama Biro Khusus.
Sjam
Kamaruzzaman sendiri, setidaknya sejak bulan Agustus itu juga telah punya point-point
mengenai situasi yang dihadapi, terkait dengan kepentingan partai dan sebagai
hasil diskusinya dengan kalangan terbatas pimpinan partai. Khusus mengenai
Letnan Kolonel Untung, baru bisa dibicarakan Sjam dengan Aidit, sepulangnya
Ketua Umum CC PKI itu dari Peking. Dan rapat terbatas membahas munculnya sayap
militer itu serta perkembangan terbaru sepulangnya Aidit dari Peking itu mulai
dilakukan pada 9 Agustus.
Rapat
pertama Biro Khusus PKI dengan Letnan Kolonel Untung, secara serius mulai
dilakukan 6 September 1965 di Jakarta. Dari Biro Khusus hadir orang kesatu dan
kedua, Sjam dan Pono. Sedang para perwira militer yang hadir selain Letnan
Kolonel Untung, adalah Kolonel Abdul Latief, Mayor Inf Agus Sigit serta seorang
perwira artileri Kapten Wahjudi –yang rumah kediamannya dijadikan tempat rapat
malam itu– serta seorang perwira Angkatan Udara Mayor Sujono, komandan Pasukan
Pertahanan Pangkalan Halim Perdanakusumah. Mendapat uraian dari Sjam
Kamaruzzaman mengenai situasi terakhir negara, serta adanya sejumlah jenderal
yang tergabung dalam Dewan Jenderal yang akan mengambilalih kekuasaan
dari tangan Presiden Soekarno, para perwira menengah itu menyepakati suatu
rencana gerakan penangkalan.
Seluruhnya,
dengan berganti-ganti tempat, termasuk di kediaman Sjam di Salemba Tengah,
hingga tanggal 29 September berlangsung sepuluh pertemuan. Hampir sepenuhnya
pertemuan-pertemuan itu berisi rancangan gerakan militer, karena sejak awal
mereka sepakat bahwa aspek politik dan ideologis ditangani oleh Sjam dan Pono
saja. Rangkaian pertemuan itu pun praktis tak memiliki persentuhan yang nyata
dengan PKI, terkecuali kehadiran Sjam dan Pono dari Biro Khusus. Secara
berurutan, setelah pertemuan pertama 6 September, berlangsung pertemuan kedua 9
September, ketiga 13 September, keempat 15 September, kelima 17 September,
keenam 19 september, ketujuh 22 September, kedelapan 24 September, kesembilan
26 September dan kesepuluh 29 September 1965.
Sampai
pertemuan keempat di rumah Kolonel Latief, belum terkonfirmasikan dengan jelas
pasukan-pasukan mana yang bisa diikutsertakan dalam gerakan. Barulah pada
pertemuan kelima, juga di rumah Kolonel Latief, mulai tergambarkan dengan lebih
jelas komposisi pasukan yang bisa diharapkan, yang seluruhnya menurut
perhitungan Letnan Kolonel Untung, hampir setara dengan satu divisi. Disebutkan
kekuatan yang akan dikerahkan terdiri dari Batalion 530 dari Divisi Brawijaya,
Batalion 454 dari Divisi Diponegoro, satu batalion dari Brigif I Kodam Jaya
yang dijanjikan Kolonel Latief, satu kompi dari satuan Tjakrabirawa di bawah
Letnan Kolonel Untung sendiri, satu kompi di bawah Kapten Wahjudi serta 1000
orang sukarelawan yang telah dilatih oleh Mayor Sujono di daerah Lubang Buaya.
Penetapan D-Day dipengaruhi oleh laporan Mayor Sujono bahwa 1000 sukarelawan
yang dilatihnya masih memerlukan waktu setidaknya sepuluh hari agar mencapai
tingkat combat ready. Faktor lain, karena Letnan Kolonel
Untung merasa masih ada kekurangan, dan untuk itu ia mengharapkan adanya satu
kesatuan kavaleri dengan 30 tank atau panser. Untung mengharapkan bantuan itu
datang dari Divisi Siliwangi, setelah ia mendengar laporan Sjam tentang
keberhasilan memperoleh ‘dukungan’ dari Brigjen Rukman, Kepala Staf Kodam
Siliwangi.
Tanpa
menyebutkan nama, pada pertemuan keenam di rumahnya, Sjam menyebutkan adanya
dukungan seorang jenderal terhadap gerakan ini. Dan pada pertemuan ketujuh, 22
September, ditetapkan pembagian tugas per pasukan yang diberi penamaan
Pasopati, Bhimasakti dan Gatotkaca. Tugas yang paling khusus, ‘penjemputan’
para jenderal target, diserahkan kepada Pasopati.
Penetapan
rencana pembentukan Dewan Revolusi dilakukan dalam pertemuan kedelapan, 24
September, di rumah Sjam. Pertemuan yang terjadi tujuh hari sebelum 1 Oktober
1965 itu, termasuk pertemuan penting karena di situ perencanaan makar mencapai
puncaknya dengan kehadiran lengkap seluruh pendukung gerakan dan tercapainya
kesepakatan pembentukan Dewan Revolusi. Semula nama yang dipilih adalah Dewan
Militer, tetapi menurut Sjam, Aidit berkeberatan dan mengusulkan penggunaan
nama Dewan Revolusi agar cakupannya lebih luas, tidak terdiri dari kalangan
militer saja. Semula, dalam Dewan Militer, selain nama para perwira pelaksana
gerakan, disebutkan nama dua panglima angkatan, yakni Laksamana Madya Udara
Omar Dhani dan Laksamana Madya Laut RE Martadinata. Itulah pertama kali nama
Aidit dikaitkan dengan gerakan, meskipun hanya melalui ucapan Sjam, tapi
sejauh hingga saat itu, Aidit tak pernah hadir dalam pertemuan.
“Dalam
kamus militer, terminologi “hidup atau mati”, cenderung berarti izin membunuh,
dan umumnya yang terjadi para pelaksana memilih alternatif ‘mati’ itu bagi
targetnya. Apalagi bila yang akan ditangkap itu melakukan perlawanan”.
DALAM
pertemuan kesembilan, 26 September, ditetapkan Gedung Penas (Pemetaan Nasional)
dekat Halim Perdanakusumah sebagai Senko (Sentral Komando). Pada pertemuan ini
ada desakan agar D-Day ditetapkan pada 29 September, tetapi Letnan Kolonel
Untung memintanya ditunda menjadi 30 September, karena ia masih berharap
mendapat dukungan kavaleri dengan tank dan panser dari Divisi Siliwangi. Dan ia
telah mengajukan permintaan bantuan untuk itu kepada seseorang yang sepanjang
data yang ada belum pernah terungkap namanya. Menurut seorang jenderal
purnawirawan yang pernah bertugas di bidang intelijen, orang yang dimaksud tak
lain adalah Mayjen Soeharto, yang kemudian memintanya dari Brigjen Rukman dari
Siliwangi yang oleh Sjam dikatakan pernah menyanggupi memberi bantuan pasukan.
Namun data ini masih harus ditelusuri lebih jauh kebenarannya.
Permintaan
Untung akan dukungan kavaleri dari Siliwangi ini, tak pernah terpenuhi sampai
terjadi peristiwa pada 1 Oktober dinihari. Namun merupakan suatu kebetulan yang
menakjubkan bahwa pada tanggal 1 Oktober 1965, satu pasukan kavaleri dengan 30
buah tank dan kendaraan lapis baja dari Siliwangi –persis sama dengan yang
diinginkan Letnan Kolonel Untung– betul-betul datang ke Jakarta dan bergabung
ke bawah komando Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto.
Pertemuan
terakhir, dilakukan tepat pada D-Day 30 September, di rumah Sjam, di Salemba
Tengah. Pada pertemuan ini, barulah dimunculkan Brigjen Soepardjo, yang datang
dari Pontianak sehari sebelumnya atas permintaan Sjam Kamaruzzaman. Pangkopur
II ini menawarkan mendatangkan pasukan dari Kalimantan yang ada dalam
komandonya, namun perwira lainnya menyatakan tak perlu, karena pasukan yang
tersedia sudah mencukupi. Malam itu ditaklimatkan nama delapan jenderal yang
akan dijemput, yakni Jenderal AH Nasution, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayjen
Soewondo Parman, Mayjen R. Soeprapto, Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono, Brigjen
Donald Izacus Pandjaitan, Brigjen Soetojo Siswomihardjo dan Brigjen Ahmad Soekendro.
Ada
perubahan angka pasukan yang akan dikerahkan, dari satu kompi Tjakrabirawa
menjadi satu batalion, dan dari Brigif I Kodam Jaya dari satu batalion menjadi
tiga batalion. Sehingga total pasukan yang akan dikerahkan menjadi sekitar 7000
orang. Adalah menarik bahwa pada tengah malam, Aidit yang sebenarnya dijemput
oleh perwira Tjakrabirawa dari rumahnya untuk dibawa ke Halim
Perdanakusumah, pasca peristiwa –berdasarkan sebuah laporan intelijen–
digambarkan ikut sejenak hadir dalam pertemuan itu. Aidit lalu dipertemukan
dengan Mayjen Pranoto di ruang lain di rumah itu, sebelum akhirnya dibawa ke
Halim Perdanakusumah. Letnan Kolonel Untung dikemudian hari dalam pengakuannya,
menyebutkan dua tokoh tersebut sebagai ‘dua orang tak saya kenal’. Kehadiran
Aidit di rumah Sjam malam itu, sedikit kurang jelas, karena setelah menghadiri
acara di Senayan, dimana Soekarno berpidato, Aidit yang tidak menunggu acara
sampai selesai, pulang kerumah dan menerima seorang tamu, Ketua CGMI Hardojo
sampai menjelang tengah malam. Sekitar jam duabelas lewat, ia dijemput dari
rumahnya di Pengangsaan Barat oleh dua perwira Tjakrabirawa yang
menggunakan dua landrover AURI dan diminta ke Halim Perdanakusumah.
Acara
di Istora Senayan, Musyawarah Nasional Teknik, 30 September malam, berlangsung
hingga agak larut. Baru setelah pukul 22.00 Presiden Soekarno naik ke podium
untuk berpidato. Sebelum itu, Soekarno sempat mendapat sepucuk surat, yang
disampaikan melalui salah satu ajudannya, Kolonel Widjanarko. Setelah sejenak
mengamati surat itu, memasukkan ke sakunya, Soekarno lalu meninggalkan tempat
duduknya dan keluar menuju serambi gedung olahraga itu, diiringi oleh para
perwira pengawalnya, Kolonel CPM Maulwi Saelan dan Komisaris Polisi Mangil,
selain Kolonel Widjanarko. Mulanya, Soekarno menyempatkan diri ke kamar kecil.
Lalu, di serambi Istora Senayan, Soekarno kemudian menyempatkan membaca surat
tersebut. Lalu masuk kembali ke ruangan. Menurut kesaksian Widjanarko di
kemudian hari, surat itu berasal dari Letnan Kolonel Untung yang disampaikan
melalui seorang kurir. Setelah membaca surat itu, Soekarno mengangguk-angguk
dan nampak bersemangat. Sikap bersemangat itu berkelanjutan ketika Soekarno
kemudian menyampaikan pidatonya. Dalam pidato itulah Soekarno menyampaikan
sebuah kutipan dari dunia pewayangan, kisah Mahabharata, yang menggambarkan
suatu ‘pelajaran’ untuk tidak ragu-ragu membunuh saudara sekalipun bila itu
demi kepentingan perjuangan.
Bagian
yang dipaparkan Soekarno malam itu adalah mengenai pertentangan antara Pandawa
dari kerajaaan Amarta dengan Kurawa dari kerajaan Hastina, yang sebenarnya
masih memiliki pertalian darah. “Dua negara ini konflik hebat. Tetapi
pimpinan-pimpinan dan panglima-panglima Hastina itu sebenarnya masih keluarga
dengan pemimpin-pemimpin dan panglima-panglima Pandawa”, demikian lanjutan
pidato Soekarno setelah sejenak melihat jam yang telah mendekat pukul sebelas
malam. “Arjuna yang harus mempertahankan negeri Pandawa, harus bertempur dengan
orang-orang Hastina. Arjuna berat dia punya hati, karena ia melihat di barisan
tentara Hastina itu banyak ipar-iparnya, karena isteri Arjuna itu banyak lho.
Banyak ia punya oom-oom sendiri, banyak ia punya tante-tante
sendiri. Lho memang di sana pun ada banyak wanita yang berjoang,
saudara-saudara. Bahkan gurunya ada di sana, guru peperangan yaitu Durno, ada
di sana. Arjuna lemas, lemas, lemas. Bagaimana aku harus membunuh saudaraku
sendiri. Bagaimana aku harus membunuh kawan lamaku sendiri. Bagaimana aku harus
membunuh guruku sendiri. Bagaimana aku harus membunuh saudara kandungku
sendiri, karena Suryoputro sebetulnya keluar dari satu ibu. Arjuna lemas.
Kresna memberi ingat kepadanya. Arjuna, Arjuna, Arjuna, engkau ini ksatria.
Tugas ksatria ialah berjuang. Tugas ksatria ialah bertempur jika perlu. Tugas
ksatria ialah menyelamatkan, mempertahankan tanah airnya. Ini adalah tugas
ksatria. Ya benar di sana ada engkau punya saudara sendiri, engkau punya guru
sendiri. Mereka itu mau menggempur negeri Pandawa, gempur mereka kembali. Itu
adalah tugas ksatria, karmane evadhi karaste maphalesu
kadacana, kerjakan engkau punya kewajiban tanpa hitung-hitung untung
atau rugi. Kewajibanmu kerjakan!”.
Dalam
konteks situasi yang dipahami orang per waktu itu, semestinya yang dimaksudkan
bahwa yang dihadapi Arjuna –yang sepertinya dipersonifikasikan sebagai Soekarno
dari Indonesia– adalah Malaysia yang serumpun. Namun, setelah peristiwa tanggal
30 September 1965, kelak analogi dari pewayangan yang disampaikan Soekarno itu
diasosiasikan dengan penculikan dan pembunuhan para jenderal dalam peristiwa
tersebut. Apalagi, Soekarno di bagian akhir pidatonya mengucapkan serentetan
kalimat, “Saudara-saudara sekarang boleh pulang tidur dan istirahat sedangkan
Bapak masih harus bekerja menyelesaikan soal-soal yang berat, mungkin sampai
jauh malam nanti….”. Di kemudian hari, kalimat ini ditafsirkan terkait dengan
surat yang diterimanya sebelum itu, yang berasal dari Untung, dan menjadi
bagian dari analisa keterlibatan dirinya dalam perencanaan peristiwa yang
beberapa jam lagi akan terjadi setelah ia mengucapkan pidatonya malam itu, 30
September menuju 1 Oktober 1965. Bahkan Soe-Hokdjin (Arief Budiman) pernah
memberi catatan bahwa setahun sebelumnya, di depan para perwira Perguruan
Tinggi Hukum Militer di Istana Bogor, Soekarno menterjemahkan ajaran Kresna, karmane
evadhi karaste maphalesu kadacana, sebagai
“kerjakan kewajibanmu tanpa menghitung-hitung akibatnya”. Tetapi pada 30
September malam, Soekarno menterjemahkannya sebagai “kerjakan kau punya tugas
kewajiban tanpa hitung-hitung untung atau rugi”. Apakah karena sebelum
berpidato, ia telah menerima secarik surat dari Letnan Kolonel Untung?
Pada
Jumat dinihari 04.00, 1 Oktober 1965, dimulailah gerakan ‘penjemputan’ para
jenderal. Tapi ternyata, apa yang semula direncanakan sebagai ‘penjemputan’
untuk kemudian diperhadapkan kepada Presiden Soekarno setelah diinterogasi
untuk memperoleh pengakuan akan melakukan kudeta, telah berubah menjadi
peristiwa penculikan berdarah yang merenggut nyawa enam jenderal dan satu
perwira pertama. Hanya Jenderal Abdul Harris Nasution yang lolos, dan Brigjen
Soekendro ternyata tak ‘dikunjungi’ Pasopati. Kenapa ‘penjemputan’ lalu berubah
menjadi penculikan dengan kekerasan dan mengalirkan darah ? Ternyata, tanpa
sepengetahuan Brigjen Soepardjo dan Kolonel Abdul Latief, dua perwira yang
paling tinggi pangkatnya dalam gerakan, Letnan Kolonel Untung mengeluarkan
perintah kepada Letnan Satu Doel Arief, untuk menangkap para jenderal target
itu “hidup atau mati”. Letnan Kolonel Untung menegaskan, “Kalau melawan, tembak
saja”. Dan Doel Arief meneruskan perintah itu kepada regu-regu penjemput dalam
bentuk yang lebih keras.
Dalam
kamus militer, terminologi “hidup atau mati”, cenderung berarti izin membunuh,
dan umumnya yang terjadi para pelaksana memilih alternatif ‘mati’ itu bagi
targetnya. Apalagi bila yang akan ditangkap itu melakukan perlawanan, hampir
dapat dipastikan bahwa yang dipilih adalah alternatif ‘mati’ tersebut. Bilamana
penjemputan para jenderal itu memang bertujuan menghadapkan mereka kepada
Presiden Soekarno, seperti misalnya yang dipahami dan dimaksudkan oleh Brigjen
Soepardjo dan Kolonel Latief, maka tak perlu ada perintah “hidup atau mati”.
Faktanya,
semua yang dijemput, memang mati terbunuh di tempat maupun kemudian di Lubang
Buaya. Selesai.
Salam: Soekarno